Budaya Tabe Tergilas Zaman
Salah satu budaya yang sangat indah di kalangan suku bugis adalah budaya mappatabe (permisi). Budaya mappatabe mewariskan budaya sopan santun yang begitu menarik, tidak hanya dengan gerakan tetapi juga dengan ucapan. Mappatabe dilakukan ketika hendak melewati orang-orang yang sedang duduk atau kepada orang yang usianya lebih tua dari kita.
Gerakan mappatabe dilakukan dengan cara meluruskan tangan di samping lutut, kemudian berjalan dengan sedikit menundukkan badan. Makna dari perilaku ini sebagai upaya menghargai dan menghormati siapapun orang di hadapan kita. Sekilas budaya mappatabe memang sangat sepele tetapi mengandung nilai filosofi yang sangat mendalam dikalangan suku bugis.
Mengimplementasikan budaya tabe dalam kehidupan sehari-hari berarti menunjukkan budi pekerti yang baik. Memungkinkan terbentuknya nilai-nilai luhur bangsa atas generasi muda dan terjaganya kearifan lokal suku bugis. Serta dengan terpatrinya budaya tabe pada diri seorang anak akan mengkonfirmasi kepada orang banyak bahwa orang tuanya memiliki pola asuhan yang sangat baik.
Apabila budaya tabe sudah mulai melekat pada pribadi seorang pemuda maka setidaknya ada tiga nilai leluhur yang terkandung didalamnya: (1) sipakatau, (2) sipakalebbi, dan (3) sipakainge. Sipakatau adalah sikap mengakui segala hak tanpa memandang status sosial atau bisa diartikan sebagai kepedulian sesama. Sipakalebbi diartikan sebagai sikap hormat terhadap sesama, dan senang tiasa memperlakukan orang dengan baik. Serta sipakainge diartikan sebagai suatu tuntunan masyarakat bugis untuk saling mengingatkan.
Namun apa daya, seiring berjalannya waktu dan bergantinya zaman budaya tabe juga tergilas. Sebagai salah satu pemuda bugis saya sangat miris melihat akhlak anak muda yang semakin bobrok. Sehingga sering saya sampaikan kepada teman-teman diskusi bahwa dibalik kemajuan zaman lewat kecanggihan teknologinya timbul sebuah kemunduran.
Kemunduran yang saya maksud adalah kemunduran dari segi akhlak, moral, dan sikap sosialisasi pemuda terhadap manusia disekitarnya. Anak muda zaman sekarang terlalu technological. Subskillnya bagus, kemampuannya terhadap tehnologi bagus, tapi kemampuannya berkomunikasi terhadap orang luar sangat rendah.
Gara-Gara teknologi inilah yang menurut saya berperan cukup besar untuk memporak-porandakan budaya tabe. Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan gadget, sering kita jumpai seorang anak yang tak lagi mappatabe ketika lewat di hadapan orang tua karena sibuk dengan gadgetnya. Sungguh kelakuan yang sangat merusak nilai lelur sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge.
Ketika melihat pemuda bugis yang tak lagi merawat budaya mappatabe, saya sangat miris dan merasa kasihan dengan moral mereka yang kian hari kian menurun. Budaya leluhur yang menjadi ciri khas ataupun kearifan lokal masyarakat Sulawesi selatan kini tak lagi mampu dipertahankan utamanya dikalangan milenial.
Pengaruh Generasi
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa budaya tabe tergilas oleh perkembangan zaman dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik manusia berdasarkan tahun kelahirannya. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh lingkungan yang dihadapi semasa hidup mereka. Sehingga tak ayal, setiap generasi akhirnya memiliki perbedaan tabiat yang turut menghadirkan pola adaptasi dan pendekatan yang juga berbeda.
Saya teringat dengan mata kuliah saya pada pendidikan luar sekolah, pernah mempelajari karakteristik manusia berdasarkan generasi kelahirannya. Teori generasi ini menggolongkang dalam tiga generasi yakni, generasi Y, Z dan Alpha.
Pertama, generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1981-1994. Generasi Y juga disebut sebagai generasi milenial. Pada generasi ini komputer sudah manjur, ditambah lagi dengan berkembangnya video game, gadget, smartphone dan setiap kemudahan akan fasilitas berbasis computerized yang ditawarkan serta kecanggihan internet. Membuat generasi Y menjadi suatu generasi yang mudah mendapatkan informasi secara cepat. Budaya tabe pada fase ini masih belum terlalu runtuh dikarenakan masih dalam proses penyesuaian dengan teknologi.
Kedua, generasi Z adalah genarasi yang lahir antara tahun 1995-2010. Generasi Z sering disebut sebagai generasi peralihan dari generasi sebelumnya. Dimana pada generasi ini ketergantungan akan teknologi semakin kuat. Dilansir dari socialmediaweek.org, dalam hal konsumsi media sosial, generasi milenial menghabiskan rata-rata enam sampai tujuh jam per minggu di media sosial, sedangkan 44 persen dari Gen Z memeriksa media sosial mereka setidaknya setiap jam.
Pada fase generasi inilah budaya tabe semakin tergilas dikarenakan generasi Z cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, cenderung egosentris dan individualis, cenderung ingin serba instan, tidak sabaran, dan titak menghargai proses. Sehingga pandangan orang-orang mengatakan generasi ini sombong dan sangat cuek terhadap manusia disekitarnya.
Ketiga, generasi alpha adalah generasi yang lahir antara tahin 2011- sekarang. Lahir di zaman dengan teknologi yang berkembang pesat. Sejak dini mereka sudah familiar dengan gadget seperti smartphone atau laptop. Anak-anak Alpha akan tumbuh dengan gadget ditangan sampai-sampai tidak pernah bisa hidup tanpa smartphone. Situasi ketergantungan teknologi pada generasi Alpha membuat generasi ini menjadi paling transformatif dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Menurut saya pribadi disinilah puncak-puncak tergilasnya budaya tabe. Dimana karakteristik generasi alpha Mereka suka memerintah, dominan dan suka mengatur. Anak Alpha merasa nyaman ketika menjadi orang yang memerintah. Mereka juga terdorong dominasi dengan mengeksploitasi kelemahan orang lain.
Konklusi Penulis
Belakangan saya sangat tersentuh dan salut dengan kearifan yang dimiliki teman-teman pendaki. Kala itu saya menuju danau tanralili disetiap perjalanan ketika kita bertemu dengan pendaki lain kita saling sapa dan menerapkan budaya tabe ketika hendak mendahului. Atau sekadar menyapa untuk berbagi minuman (Tabe’ OM Minumki).
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa anak-anak zaman sekarang harusnya lebih sering diajak outdor. Supaya ketergantungan terhadap gadget dapat dikurangi. Serta dengan kegiatan outdoor akan sangat membangun jiwa sosialisasi mereka. Karena mau tidak mau ketika berkegiatan di alam terbuka seperti naik gunung jaringan akan sangat susah, sehingga kita lebih sering berinteraksi dengan sesama pendaki. Dan yang paling penting budaya tabe kita pasti akan terbangun.
0 Response to "Budaya Tabe Tergilas Zaman"
Posting Komentar